Rabu, 01 Februari 2012

MENAPAK SEJARAH SINJAI


MENAPAK SEJARAH SINJAI


I. PENDAHULUAN.

A.  Latar Belakang
      Sinjai sebagai salah satu  Daerah Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan adalah bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia. Kita semua mengetahui bahwa suatu daerah tidak langsung hadir begitu saja,
tetapi setiap daerah mempunyai peroses sejarah sendiri-sendiri. Itulah yang menyebabkan sehingga daerah- daerah di Indonesia masing-masing mempunyai tahun kelahiran tersendiri.
      Untuk itu,  Sinjai sebagai salah satu daerah kabupaten tingkat II yang merupakan bagian dari wilayah negara Republik Indonesia juga menetapkan hari jadinya berdasarkan hasil seminar penelusuran hari jadi Sinjai pada 2 - 3 September 1994  maka ditetapkan hari jadi Sinjai dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 1996 seri D tentang Penetapan Hari Jadi Sinjai setiap  27 Februari. Adapun tahun yang dijadikan tonggak sejarah kelahiran Sinjai di dasarkan pada tahun diadakannya Perjanjian Topekkong (Lamung Patue)  sekitar 1564 (abad ke-16).      
        Dari berbagai asumsi tentang Sinjai yang telah disampaikan oleh para ahli sejarah dan budayawan di dalam seminar penelusuran hari jadi Sinjai yang dijadikan sumber informasi sehingga Sinjai Dari Masa Kemasa dapat ditulis secara global agar generasi dan masyarakat Sinjai dapat mengenal asal usulnya. Atas dasar itulah dapat diharapakan solidaritas dan kekompakan dapat dibangun dan berkiprah secara bersama untuk melihat Sinjai kedepan.
        Dengan adanya pemahaman bersama, bahwa masyarakat Sinjai yang sekarang ini bersumber dari satu maka diharapkan tidak terjadi lagi ada orang Sinjai yang tidak mengetahui asal usulnya. Karena merupakan suatu kejanggalan jika  seseorang mengaku putera dari suatu daerah, tetapi sama sekali tidak mengetahui asal usul dan kondisi daerah asalanya. Dengan demikian, dianggap perlu membeberkan informasi ini kepada generasi masyarakat Sinjai tentang sejarah keberadaan daerahnya.

B. Pengertian
         Dalam konteks Sinjai Dari Masa Kemasa dapat dipahami bahwa penulisan sejarah Sinjai haruslah disajikan mulai dari awal mula adanya manusia yang menjadi penghuni wilayah Sinjai  melalui fase sejarah panjang dari masa kemasa sehingga dapat terbentuk suatu pemerintahan yang pengelolaannya disesuaikan dengan perkembangan masa.
         Jadi Sinjai Dari Masa Kemasa tidak lain hanya memberikan informasi global sejarah panjang tentang Sinjai agar generasi kita dapat mengetahui dan kemungkinannya dapat lebih mendalami dan menelusuri kembali tapak-tapak sejarah masa lalu hingga kini, utamanya yang perlu ditelusuri dan dihayati adalah nilai kesejarahan yang terjadi pada masa tertentu sebagai  acuan analisis untuk merangkai masa depan Sinjai.

C. Tujuan dan Sasaran
          Sinjai dari masa kemasa, merupakan suatu hasil kegiatan penelusuran yang mengacu kepada catatan-catan sejarah keberadaan Sinjai dari masa lalu hingga kini sebagaimana yang telah dilansir oleh para budayawan dan pakar sejarah pada saat diadakan seminar penelusuran hari jadi Sinjai  ditambah dengan penuturan pelaku sejarah yang dianggap dapat memberikan penjelasan.
          Tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam penulisan Sinjai dari masa kemasa dimaksudkan sebagai  informasi global kepada  masyarakat Sinjai termasuk generasi mudanya,  baik yang berdomisili dalam wilayah kabupaten Sinjai maupun masyarakat Sinjai
yang ada di luar Sinjai, dengan harapan agar dapat menghayati nilai-nilai kesejarahan yang dapat diemban merupakan pencerminan jati diri sebagai masyarakat religius, ramah dan sosial,   teguh dalam memegang amanah, komitmen terhadap kesepakatan,  senantiasa berusaha memelihara persatuan dan kesatuan sebagai perwujudan nilai perjanjian topekkong (lamung patue).
   
D. Sistimatika Penulisan
            Sinjai dari masa kemasa dituangkan dalam tulisan, dipenggal-penggal sesuai dengan masa, situasi dan kondisi Sinjai dari masa kemasa sehingga tersusun dalam  sistimatika  sebagai berikut :
  1. Pada bagian I merupakan pendahuluan, isinya meliputi latar belakang sehingga Sinjai dari masa kemasa ditulis. Dalam bab ini juga memberikan pengertian sehingga maksud Sinjai dari masa kemasa dituangkan kedalam tulisan, demikian pula sasaran yang akan dicapai.
  2. Pada bagian II dari tulisan ini menuangkan selayang pandang kondisi sosial masyarakat Sinjai  sebagai suatu rangkaian gambaran masalah nilai yang perlu dihayati dan diwujudkan oleh masyarakat Sinjai yang berasal dari satu sumber keturunan.
  3. Pada bagian III mengungkap asal usul Sinjai yang bermula dari adanya manusia pertama yang menjadi penghuni wilayah Sinjai hingga terbentuk kerajaan-kerajaan dan kelompok kerajaan. Demikian pula asumsi masyarakat dalam pemberian nama Sinjai.
  4. Pada bagian IV mengemukakan posisi wilayah Sinjai masa lalu sebagai daerah lintas batas antara kerajaan Gowa dan Bone sehingga kerajaan yang ada membentuk dua kelompok kerajaan “ Pitu limpoe’ dan Tellu Limpoe’ “ untuk pertahanan wilayah. Juga dikemukakan upaya kerajaan mendamaikan antara kerajaan Gowa dan Bone sehingga lahir perjanjian dan dibuat dalam bentuk simbol  (Lamung Patue’ ri Topekkong). Dikemukakan pula peroses masuknya Belanda di Sinjai sehingga dapat menduduki wilayah kerajaan Sinjai dan memugar Benteng Tellu Limpoe’ di Balangnipa.
  5. Pada bagian V menjelaskan posisi Sinjai setelah kemerdekaan tercapai hingga peroses peralihan pemerintahan.
  6. Pada bagian VI menampilkan Kepala Daerah Sinjai dari periode keperiode dan kegiatannya masing-masing selaku kepala pemerintahan.
  7. Pada bagian VII merupakan penutup dari rangkaian tulisan ini yang di dalamnya memuat kesimpulan dan harapan penulis untuk dilengkapi dan dikembangkan sehingga catatan ini dapat berkesinambungan  sesuai dengan perkembangan. 

II. SELAYANG PANDANG MASYARAKAT SINJAI
         Sinjai dari masa kemasa, merupakan suatu masalah yang perlu disajikan dengan dasar pemikiran bahwa suatu kejanggalan yang dimiliki oleh sebuah komunitas masyarakat jika tidak mengetahui asal-usulnya. Disamping itu, juga perlu diketahui bagaimana kiprah masyarakat Sinjai pada masa dahulu yang semata-mata hanya memperoleh ilham dari yang maha kuasa yang mewarnai pemikirannya sehingga terinspirasi untuk mengatur kehidupannya baik di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya maupun di dalam mengatur pemerintahan.
         Untuk itu generasi kita harus memahami kondisi nenek moyangnya dari segala sudut kehidupannya termasuk falsafah hidup yang ditinggalkan untuk dijadikan patron di dalam mengembangkan Sinjai kedepan. Artinya kita perlu menata kehidupan yang lebih maju, tetapi jangan hendaknya kita meninggalkan nilai-nilai luhur sebagai warisan budaya. Disinilah makna yang dapat dipetik sehingga setiap tahun diadakan acara peringatan hari jadi Sinjai. Tanpa mempertahankan nilai-nilai luhur, dapat berarti masyarakat kita akan kehilangan nilai dan dapat juga berarti masyarakat kita akan mengalami pergantian generasi.
         Dalam hal ini,, perlu kita mencontoh ke Jepang yang sudah memasuki dunia Industri, tetapi nilai budaya masyarakatnya masih dapat dipertahankan. Tidak sama  dengan kita, ketika mengadopsi budaya dan peradaban dari luar, seketika itu hilang pula nilai budaya luhur kita.
         Disinilah letak perlunya kita menghayati dan membudayakan kembali nilai-nilai budaya leluhur kita, tidak hanya kita mengadakan upacara seremonial belaka tanpa memetik makna tapak-tapak sejarah yang dilalui oleh pendahulu kita yang konon sudah lebih dari empat ratus tahun (HJS. Ke 442).
         Umur  empat ratus tahun lebih merupakan umur yang cukup tua, tetapi sudah sampai sejauh mana kemajuan yang  diperoleh  bila dibandingkan dengan daerah yang lebih muda.  Hal ini yang perlu kita evaluasi setiap tahun, tidak hanya sekedar menghitung apa yang sebaiknya kita bagi-bagi dan membanggakan apa yang telah dicapai, tetapi kita harus mencurahkan potensi berfikir untuk meningkatkan sumber daya masyarakat agar dapat memiliki kemampuan berinovasi dan berkreatifitas untuk mengadakan apa yang belum ada dan berusaha maksimal untuk sejajar dengan daerah yang lebih muda dan sudah mengalami kemajuan tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya luhur pendahulunya,  seperti keteguhan di dalam mempertahankan kebenaran, jujur dan konsekwen di dalam melaksanakan amanah, memiliki komitmen keagamaan yang tinggi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, saling hormat menghormati dan memelihara persatuan dan kesatuan, dan sebagainya. Apalagi masyarakat Sinjai bersumber dari satu turunan,  kemudian tersebar keberbagai penjuru dalam wilayah Sinjai. Jadi wajarlah apabila kita saling menghargai, saling menarik keatas,  dan saling menjunjung di atas landasan kebenaran seperti apa yang menjadi muatan perjanjian topekkong.


III.  ASAL USUL SINJAI
            Kabupaten Sinjai berdasarkan penelusuran sejarah, dimulai dari pemukiman pertama di WAWO BULU Manipi Kecamatan Sinjai Barat di sebelah timur Malino dipimpin oleh orang yang digelar PUATTA TIMPAE’ TANA ataui TO PASAJA yaitu Arung Manurung Tanralili.
            Keturunan Arung Tanralili, salah seorang diantaranya adalah wanita yang kemudian puteri Tanralili inilah yang mengembangkan wilayah Wawo Bulu menjadi Kerajaan TURUNGENG.
            Raja wanita tersebut diperisterikan oleh putera Raja Tallo yang kemudian salah seorang turunannya adalah wanita kawin dengan salah seeorang putera Raja Bone. Dari hasil perkawinan itulah yang kemudian melahirkan enam orang putera dan satu orang puteri. Akan tetapi puterinyalah yang menggantikan ibunya menduduki tahta kerajaan di Turungeng. Adapun keenam puteranya ditebarkan ke wilayah lain sehingga ada yang bermukim di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Bala Suka dan masing-masing berusaha membentuk wilayah kekuasaan.
            Dari keturunan Puatta Timpae’ Tana atau To Pasaja inilah yang berhasil membentuk kerajaan dalam wilayah dekat pantai yang dikenal dengan kerajaan Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti.
            Untuk memelihara hubungan dan keutuhan wilayah kerajaan yang bersumber dari satu keturunan, maka muncullah gagasan dari I Topacebba (anak dari La Padenring)  yang digelar Lamassiajingeng (Raja Lamatti ke-X) berupaya mempererat hubungan Lamatti dengan Bulo-Bulo atas dasar semboyan “ PASIJAI SINGKERUNNA LAMATTI BULO-BULO “  artinya satukan keyakinan / kekuatan Lamatti dengan Bulo-Bulo.
            Penggagas dalam memelihara persatuan Lamatti dan Bulo-Bulo saat meninggalnya digelar  “ PUATTA MATINROE’ RISIJAINNA “.
            Sinjai dalam ungkapan bahasa Bugis bermakna satu jahitan. Sinjai artinya bersatu dalam jahitan. Dari istilah sijai menjadi sinjai, merupakan suatu simbol dalam mempererat hubungan kekeluargaan, menurut bahasa Bugis.
            Dari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan yang ada, muncul pemikiran baru tentang perlunya memperkuat persatuan dan kesatuan dalam memelihara dan melindungi kerajaan yang ada, maka dibentuklah kelompok gabungan kerajaan yang berbentuk vederasi yang dikenal dengan :
1.      TELLU LIMPOE’, merupakan persekutuan kerajaan yang berdekatan dengan pantai, yaitu Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti.
2.      PITU LIMPOE’, merupakan persekutuan kerajaan yang berlokasi di daerah dataran tinggi , yaitu kerajaan Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Balasuka.
            Vederasi kerajaan Tellu Limpoe’ dan Pitu Limpoe’ merupakan dua kekuatan yang akan membendung arus ekspansi dari barat dan selatan, juga merupakan  kekuatan pertahanan untuk membendung arus ekspansi dari utara dan penyelamatan garis pantai.


IV.  POSISI WILAYAH SINJAI MASA LALU.
             Secara geografis, wilayah sinjai menempati posisi strategis karena berada pada kawasan pantai dan pegunungan yang merupakan lintas batas kerajaan Gowa dan Bone.
            Antara kerajaan Gowa dan Bone senantiasa bersaing dalam merebut pengaruh terhadap kerajaan tetangga sehingga wilayah Sinjai merupakan wilayah yang diincer oleh kedua kerajaan tersebut.
            Untuk mempertahankan wilayah garis pantai, raja-raja Tellu Limpoe’  (Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo) bersepakat mendirikan benteng pertahanan di Balangnipa pada tahun 1557 dan diberi nama benteng Tellu Limpoe’ atau Benteng Balangnipa.
            Melihat kondisi perkembanagan gerakan kedua kerajaan tersebut (Gowa dan Bone), maka kerajaan-kerajaan kecil yang dalam wilayah Sinjai menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang berstatus vederasi yang terbentuk menjadi dua kekuatan yang tidak dapat dipisahkan dalam membendung pengaruh dari dua kerajaan besar.
            Upaya pembentukan dua kekuatan pertahanan, yaitu Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’ mengadakan kesepakatan untuk mempertahankan wilayahnya dari pengaruh ekspansi Gowa dan Bone.
            Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai merasa dirinya sebagai satu sumber keturunan sehingga kedua kekuatan tersebut  ( Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’) menempuh jalan yang arif dengan bersikap netral menghadapi kedua kerajaan tersebut. Sikap netral itulah sehingga menjadikan dirinya sebagai mediator untuk melakukan perdamaian antara Gowa dan Bone.. Untuk itu maka  Tellu Limpoe’ maupun Pitu Limpoe’  tidak melakukan pemihakan dalam menghadapi kedua kerajaan tersebut sehingga berhasil mempertemukan kedua kerajaan yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh. Dengan demikian maka digagaslah suatu perundingan untuk perdamaian sehingga pada bulan Februari 1564 Raja Bulo-Bulo ke-VI La Mappasoko Lao Manoe’ Tanru’na berhasil mempertemukan kedua kerajaan yang bertikai.
            Dalam perundingan, kerajaan  Gowa diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMETTA dan kerajaan Bone diwakili oleh LATENRI RAWE BAONGKANGE yang disaksikan oleh raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai, yaitu Raja La Padenring (Raja Lamatti ke-VIII (bergelar Arung Mapali’e, suami I Daommo alias Mabbissuneng Eppa’e Arung Bulo-Bulo),  Iyottong Daeng Marumpa Raja Tondong, dan La Mappasoko Lao Manoe’ Tanrunna mewakili Raja Bulo-Bulo.
            Pertemuan antara Raja Bone dan Raja Gowa diadakan di Topekkong Kalaka Sinjai kira-kira 3 km dari pusat kota Sinjai (Balangnipa) dan berhasil melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan PERJANJIAN TOPEKKONG yang ditandai dengan LAMUNG PATUE’ RI TOPEKKONG (Penanaman batu besar).
           Lamung Patue’ merupakan simbol, bahwa bagian batu yang tertanam dimaksudkan sebagai simbol penguburan sikap keras yang dapat merugikan semua pihak. Batu yang muncul dipermukaan tanah, merupakan simbol persatuan yang tak tergoyahkan.
            Perjanjian Topekkong memuat :
1. MADDUMME TO SIPALALO, artinya saling mengizinkan mencari tempat bernaung
    MABBELLE TO SIPASORO, artinya saling memberi keuntungan dalam menangkap ikan.
    SEDDI PABBANUA PADA RIAPPUNNAI, artinya satu penduduk kita miliki bersama
    LEMPA ASEPA MAPPANNESSA, artinya pikulan padi yang menentukan, kemana
    padinya dibawa disitulah pilihannya.
2. MUSUNNA GOWA MUSUNNA TO BONE NA TELLU LIMPOE’, MAKKUTOPI
    ASSIBALINNA. Artinya musuh Gowa, juga musuh Bone dan Tellu Limpoe’, begitu pula
    sebaliknya. 
3. SISAPPARENG DECENG, TENG SISAPPARENG JA. Artinya saling mencari kebaikan,
    tidak saling mencari kejelekan (kekurangan).
     SIRUI MENRE TE SIRUI NO. Artinya saling menaikkan, tidak saling menjatuhkan
     ( menurunkan ).
    MALILU SIPAKAINGE, MALI SIPARAPPE. Artinya saling mengingatkan, saling
     menyelematkan.
           Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai konsisten terhadap perjanjian Topekkong sehingga pada saat orang Belanda mendatangi dan membujuk kerajaan Bulo-Bulo  untuk memerangi kerajaan Gowa sebagai upaya untuk memecah belah kerajaan yang ada di wilayah Sulawesi Selatan sehingga puncak upaya Belanda untuk memecah belah terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Belanda pada 29 Februari 1636 M. / 22 Ramadhan 1057 H.
           Pada tahun 1824 Gubernur Jenderal Van Der Capellen datang dari Batavia membujuk I Cella Arung Bulo-Bulo XXI untuk menerima perjanjian Bongaya, dan mengizinkan Belanda mendirikan loji ( Kantor Perdagangan) di Lappa. Tetapi dengan tegas ditolak, sehingga pada saat itu orang Belanda mengadakan penyerangan di bawah pimpinan Van Der Capellen, sedangkan pasukan kerajaan Tellu Limpoe’ dipimpin oleh La Mandasini (Puatta Mapute Isinna) sebagai Dulung (Panglima) Tellu Limpoe’dan Baso Kalaka yang berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Ketika itu I Mappajaji alias I May Dg. Sisila anak dari I Mappakana arung Bulo-Bulo sebagai Arung Lamatti ke-30.
            Pada tahun 1859 pasukan Belanda kembali mengadakan serangan besar-besaran melalui laut dan darat yang dipimpin oleh Jenderal Van Swiaten. Oleh karena kekuatan tidak berimbang akhirnya Sinjai direbut oleh Belanda . Dengan demikian maka pada 15 Nopember 1861 Gubernur Sulawesi menetapkan daerah taklukannya Tellu Limpoe’ dijadikan wilayah pemerintahan dengan sebutan Gester Districten. Oleh karena pasukan Belanda telah menaklukkan kerajaan Tellu Limpoe’ maka Belanda berusaha mengadakan pemugaran benteng Tellu Limpoe’ pada tahun 1864 - 1868 kemudian dijadikan markas pertahanan, sekaligus sebagai tempat tahanan (bekasnya sudah tidak ada) dikenal dengan kandang macan.
             Oleh karena Balangnipa pernah dilanda banjir sehingga benteng Balangnipa kemasukan air, maka Belanda berusaha memindahkan tahanan di Balobboro dalam bentuk kandang macan beberapa buah yang tidak beratap. Adapun bekas tahanan di balobboro penulis masih dapat melihat sekitar tahun 1969, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, bahkan sudah menjadi pemukiman penduduk.
             Jadi untuk membuktikan kekejaman kolonial terhadap pribumi sudah mengalami kesulitan karena bukti yang menjadi saksi sejarah sudah tiada.
              Pada 24 Februari 1940 Gubernur Grote Gost menetapkan pembagian wilayah administrasi untuk daerah timur besar termasuk Residensi Celebes di mana daerah Sinjai bersama dengan beberapa daerah lainnya berstatus Onther Afdeling dalam wilayah Afdeling Bonthain. Sedangkan Onther Afdeling  Sinjai dibagi atas beberapa Adats Gemencap, yaitu : Cost Bulo-Bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Manipi dan Turungeng.
             Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan ditata kembali sesuai kebutuhan bala tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng.
             Perjuangan pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan semakin tinggi sehingga pemuda-pemuda membentuk organisasi SUDARA (Sumber Darah Rakyat) yang disponsori oleh Abd. Razak Simarajalelo, KRIS MUDA (Kebaktian Rakyat Islam Muda) dan lain-lain.
            Oleh karena  posisi Sinjai merupakan daerah yang strategis dan ditopang oleh semangat juang yang tinggi sehingga sebagian pemuda yang akan ikut berjuang di Jawa menjadikan daerah pantai Sinjai sebagai tempat transit ke Jawa, demikian pula yang berasal dari Jawa.
            Kondisi masyarakat Sinjai sangat antusias menyambut dan mempertahankan kemerdekaan sehingga para pejuang tidak henti-hentinya mengadakan konsolidasi dan koordinasi untuk mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh M. Syurkati Said, M. Yahya Mathan, M. Sultan Isma, M. Dahlan Isma, A. M. Saleh, Abdul Hai, M. Sattar, Mukmin dan lain-lain yang mendapat dukungan rakyat Sinjai, kecuali yang merasa ada hubungan dengan Belanda.


V. POSISI SINJAI SETELAH KEMERDEKAAN TERCAPAI
           Kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan dalam sebuah Proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno dan Hatta. Atas dasar itu maka berakhirlah kekuasaan Jepang di Indonesia dan menyerahkan kedaulatan itu kepada bangsa Indonesia untuk mengatur pemerintahannya sehingga sturktur pemerintahan di Sinjai masih tetap berada di bawah Daerah Swatantra Tingkat II Bonthain yang membawahi Bonthain sendiri, Sinjai, Bulukumba, dan Selayar dengan status Kewedanaan.
          Pemerintah Jepang di Makassar mengirim   Abd. Razak Simarajalelo (orang Sumatera) ke Sinjai (seorang pejuang yang berada di Makassar) untuk menerima penyerahan pemerintahan di Sinjai. Setelah itu, Abd. Razak  Simarajalelo melanjutkan penyerahan.  Pemerintahan di Sinjai kepada H. A. Mappatoba (Arung Bulo-Bulo Timur) maka resmilah Pemerintahan di Sinjai dipegang oleh bangsa Indonesia pada 19 Agustus 1945.
           H. A. Mappatoba menjadi Kepala Pemerintahan R. I. (KPRI) Dalam bentuk Kewedanaan Di Sinjai dengan membawahi  Distrik Lamatti, Bikeru, Manimpahoi, dan Manipi.       
            Dalam perjalanan pemerintahan KPRI terjadi perubahan istilah pemerintahan menjadi Kepala Pemerintahan Negeri (KPN), pada masa ini pemerintahan dipergang oleh Abd. Razak Dg. Patunru (orang Bulukumba), kemudian beralih kepada Ahmad Marsuki Dg. Marala (Ayah Laica Marsuki SH.). Selanjutnya pemerintahan beralih kepada Puatta Indar (Sinjai), kemudian beralih kepada Laode Hibali (orang Buton) pada tahun 1955. Selanjutnya kepala pemerintahan beralih kepada A. Attas (orang Bone), kemudian pindah kepada A. Jamuddin ( orang Bone), kemudian pindah kepada Bustan (Mantan Kepala Daerah Wajo). Pada saat ini berakhirlah istilah Kewedanaan dan Distrik diubah menjadi Daerah Swatantra Tingkat II Sinjai (Daswati II Sinjai), dan Distrik diubah menjadi Kecamatan sehingga Kepala Pemerintahan menjadi Kepala Daerah dan Camat pada tahun 1959. Dari Daswati diubah lagi menjadi Dati II Kabupaten Sinjai dan kepala pemerintahannya bergelar Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Sinjai.  Istilah Dati II Kabupaten Sinjai berubah menjadi Kabupaten Sinjai dan kepala pemerintahannya bergelar Bupati Sinjai. (Wawancara H. M. Sattar,14 Fabruari 2006, Drs. Ahmad Nuruddin).
             Perubahan sistem pemerintahan tersebut terjadi karena berdasarkan UURI. No. 29 Tahun 1959 yang mengatur pemerintahan dan pemekaran serta pembentukan  Daerah Swatantra Tingkat II.  Atas dasar UURI tersebut Sinjai ditingkatkan statusnya dari Kewedanaan di bawah naungan Bonthain sehingga pada 29 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi Daerah SwatantraTingkat II Sinjai yang dipimpin oleh Mayor A. Abd. Latief sebagai Kepala Daerah yang pertama dan dilantik pada 27 Februari 1960.  Jadi secara deyure Sinjai baru memasuki umur 46 tahun.
           Setelah perang mempertahankan kemerdekaan usai, maka kekuasaan berada di tangan bangsa Indonesia masih dalam suasana transisi.  Untuk itu,  struktur pemerintahan yang ada masih tetap dipertahankan sehingga pemerintahan Sinjai yang berstatus Kewedanaan dan berada dalam naungan Daerah Swatantra Bonthain seperti halnya Bonthain sendiri, Bukukumba dan Selayar.
          Oleh karena Sinjai berada di bawah pemerintahan Daerah Swantantra Bonthain maka yang mewakili Kewedanaan Sinjai sebagai anggota DPR ialah St. Marwah Sulaiman dan M. Syurkati Said, dan A. Muh. Saleh. Konon wakil dari kewedanaan Sinjai cukup berpengaruh, karena St. Marwah Sulaiman dalam sejarahnya pernah membubarkan rapat DPR Bonthain karena terjadi perbedaan prinsip.
         
VI.  KEPALA DAERAH KABUPATEN SINJAI
           Sinjai sebagai kabupaten daerah  tingkat II yang resmi kehadirannya berdasarkan UURI. No.29 Tahun 1959, tepatnya 20 Oktober 1959, maka diangkatlah Mayor A. Abd. Latief sebagai Kepala Daerah Kabupaten Tingkat II Sinjai yang pertama.
           Untuk melihat sejauh mana kondisi pemerintahan setelah Sinjai resmi menjadi Daerah Kabupaten  Tingkat II. Dengan demikian secara global dan berturut-turut akan ditampilkan sebagai berikut :

1.      A. Abd. Latief 1960 – 1963
     Mayor A. Abd. Latief yang pertama diangkat menjadi Kepala Daerah Kabupaten Tingkat II di Sinjai sangat merasakan kesulitan di dalam menjalankan pemerintahan,  karena disamping terbatasnya sumber daya yang berpendidikan, juga pendapatan daerah sangat terbatas. Namun demikian sebagai putera daerah yang dikenal teguh pendirian dan jujur,  diberi kepercayaan untuk menakhodai pertama pemerintahan di Sinjai sehingga berusaha keras untuk menjalankan amanah dan tanggung jawab sebagai  Kepala Pemerintahan.
              Untuk memenuhi personalia yang diperlukan, beberapa diantaranya tenaga yang
       dialihkan dari status guru menjadi aparat pemerintahan dan sebagian ditempatkan pada 
       instansi yang telah diadakan serta digaji berdasarkan penghasilan daerah. Dengan cara
       itulah pemerintahan dapat berjalan sesuai apa adanya.
               Sebagai kepala pemerintahan tentu bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
       pembangunan. Untuk itu maka beliau memaksimalkan usahanya dengan segala
       kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk membangun fasilitas yang diperlukan.
               Namun beliau mengalami kesulitan dana pembangunan selama dalam
       pemerintahannya, tetapi berhasil juga meninggalkan beberapa sarana dan fasilitas
       pemerintahan, diantaranya Kantor Kepala Daerah, Kantor Kejaksaan, Kantor Pengadilan,
       Kantor Pertanian, Kantor Gabungan, Rumah Jabatan dan beberapa fasilitas lain yang
       diperlukan dalam menjalankan kegiatan pemerintahan.
               Apa yang telah dilakukan oleh A. Abd. Latief selama kurang lebih tiga tahun
       memimpin pemerintahan di Sinjai, tidak lain hanyalah merupakan peletak dasar
       pembangunan pemerintahan dengan menggunakan dana yang bersumber dari pendapatan
       asli daerah, tanpa kucuran dana dari pemerintah pusat.
 
2.      Andi Azikin 1963 – 1967
         Andi Azikin adalah putera daerah Sinjai yang kedua memimpin Kabupaten Sinjai dalam jabatan Kepala Daerah. Beliau, sebelumnya adalah karyawan kantor penerangan propinsi Sulawesi Selatan yang berkedudukan di Makassar.
                 Andi Azikin terpilih sebagai Kepala Daerah yang kedua menggantikan A. Abd.
       Latief hasil pemilihan DPRD Sinjai,  merupakan pelanjut apa yang telah diletakkan oleh
A.    Abd. Latief. Beliaupun masih mengalami kesulitan baik dari sektor sumber daya
manusia maupun sumber pendanaan pembangunan. Namun demikian A. Azikin sebagai sosok pemimpin yang bertanggung jawab memimpin daerah Sinjai sehingga beliau harus berupaya untuk memajukan Sinjai sesuai kemampuan yang ada.
          Kehadiran beliau sebagai pemimpin pemerintahan  di Sinjai mulai menggarap potensi-potensi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai sektor yang menjadi perencanaan pemerintah daerah.
                 Upaya maksimal dengan menggunakan dana dan daya yang masih sangat minim.
       Namun demikian beliau masih dapat menambah pasilitas pelayanan seperti terminal,
       Rumah Jabatan, dan beberapa fasilitas kantor yang diperlukan di dalam menjalankan
       pemerintahan.
                  Disamping usahanya menambah fasilitas pelayanan masyarakat, beliau juga
       menggunakan tenaga dan pikiran yang ekstra keras untuk meletakkan dasar pembangunan
       jalan raya ibu kota yang cukup banyak menghadapi tantangan, karena dasar jalan raya
      dibangun di atas tanah persawahan rakyat dan dilaksanakan secara gotong royong dengan
      mengerahkan massa rakyat desa secara bergantian yang dipimpin oleh Kepala Desanya
       masing-masing.
                 Untuk mensukseskan pembangunan dasar jalan raya di perkotaan, beliau sebagai
       Kepala Daerah senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat yang giat bergotong
       royong sehingga sering terdengar suara pistol sebagai tanda komando dan pendorong
       semangat untuk melancarkan kegiatan gotong royong.

3.      Drs. H. M. Nur Tahir  1967 – 1971
         Drs. H. M. Nur Tahir sebagai Kepala Daerah yang ketiga berdasarkan penetapan Menteri Dalam Negeri ( Amir Mahmud ). Beliau juga merupakan sosok putera daerah Sinjai yang menduduki posisi di kantor Gubernur. Pada masa ini merupakan masa transisi pelaksanaan pemerintahan yang akan memasuki masa sentralisasi oleh pemerintahan Orde Baru dibawa kepemimpinan Soeharto.
                Selama masa jabatan beliau tidak dapat berbuat banyak karena menghadapi kemelut,
       pro kontra masyarakat Sinjai. Namun beliau sebagai putera daerah Sinjai yang
       kehadirannya tidak sepenuhnya masyarakat Sinjai menerima dengan baik. Hal ini
       disebabkan hasil pemilihan di DPRD Sinjai tidak sesuai dengan keputusan Menteri Dalam
       Negeri. Maksudnya yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan di DPRD Sinjai saat
       itu adalah A. Ramlan Bagenda SH, tetapi yang keluar penetapannya dari Mendagri adalah
       Drs. H. Muh. Nur Tahir. Inilah yang memicu terjadinya pro kontra di dalam masyarakat
       sehingga terjadi protes keputusan Mendagri oleh tokoh-tokoh masyarakat Sinjai. Kondisi
       inilah yang menimbulkan kemelut yang  berkepanjangan, mengakibatkan terlibatnya satu
       kompi anggota KOREM Bone yang dipimpin oleh Kapten A. Mappa menjadi
       pengamanan dalam menengarai komplik yang berkepanjangan tersebut sampai akhir masa
       jabatan.
                 Komplik tersebut manjadikan Drs. H. Muh. Nur Tahir dilantik di Makassar dan
       hanya kurang lebih setahun di Sinjai kemudian kembali ke Makassar. Karena tidak dapat
       menjalankan pemerintahan maka pada tahun kedua Drs. A. Bintang M. Dikirim ke Sinjai
       untuk menyelesaikan masa jabatan Drs. M. Nur Tahir selama kurang lebih 3 tahun. 

 4.      Drs. H.  A. Bintang M.   1971 - 1983 
        Kehadiran Drs. H. A. Bintang M menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan  Drs. H. Muh. Nur Tahir yang kurang labih tiga tahun karena menghadapi kemelut  berkepanjangan akibat dari penetapan Mendagri yang tidak sesuai dengan aspirasi hasil pemilihan DPRD Sinjai. Itulah yang menyebabkan Drs. H. A. Bintang M. Ditunjuk untuk Menjabat sebagai Kepala Daerah selama tiga tahun untuk menyelesaikan masa jabatan Drs. H. M. Nur Tahir. Kemudian terpilih kembali hingga dua periode sebagai Bupati Kepala Daerah  Kabupaten Sinjai.
                 Drs. H. A. Bintang M. Merupakan Kepala Daerah yang keempat,  kehadirannya
       telah menjumpai peninggalan A. Abd. Latief dan A. Azikin yang telah meletakkan dasar-
       dasar pembangunan berupa gedung perkantoran yang jumlahnya masih terbatas, demikian
       pula pundasi jalan ibu kota yang sudah diatur dengan baik. Itulah hasil usaha kedua
       pendahulu Sinjai di dalam suasana kegersangan.
                Kehadiran Drs. H. A. Bintang M. Untuk memimpin pemerintahan di Sinjai
       bersamaan dengan digulirkannya pemerataan pembangunan berdasarkan GBHN. Atas
       dasar itulah maka kucuran dana mulai melimpah ruah dari pusat pemerintahan yang
       didistribusikan keseluruh daerah Tingkat II di Indonesia.
                Lewat kucuran dana pemerataan pembangunan, para pejabat pun mulai menikmati
       enaknya menjadi pejabat, fasilitas pelayanan mulai ditingkatkan dan dikembangkan terus,
       proyek berjalan terus sesuai perencanaan dan jumlah penduduk. Dengan demikian maka
       proyek pembangunan berjalan terus disemua lini dengan maksud meningkatkan
       kesejahteraan rakyat, maka diusahakanlah penambahan pasilitas diantaranya Rumah
       Jabatan baru, Gedung DPRD (sekarang  gedung Dharmawanita), Pasar Sentral (kini pusat
       pertokoan),  TPI Lappa, PDAM. Jadi pemimpin yang diperlukan pada saat itu adalah
       orang yang memiliki kemampuan manajerial skil yang baik, memiliki kemampuan
      menyusun perencanaan yang berasaskan pemerataan.
                Kalau kita mengamati selama pemerintahan Drs. H. A. Bintang M, maka yang
      terlihat adanya pemerataan pembangunan sehingga tidak terlihat kesenjangan antara kota
      dan kecamatan maupun desa, utamanya dalam hal sarana pendidikan dan jalan.
                Kucuran dana setiap tahun anggaran pembangunan yang berjalan dengan sistem
      sentralisasi selama ini menjadikan kreatifitas untuk meningkatkan kualitas sumber daya
      masyarakat di sektor produksi terabaikan, karena semata hanya berfikir untuk menggaet
      dana dari pusat untuk membiayai pembangunan. Itulah yang menyebabkan sehingga
      dewasa ini terasa kekurangan sumber daya manusia yang berpotensi untuk menggerakkan
      sektor produksi, karena selama ini sudah keenakan disuapi terus.

5.      H. A. Arifuddin Mattotorang SH. 1983 – 1993
        Kepergian Drs. H. A. Bintang M., digantikan oleh H. Arifuddin Mattotorang SH. untuk melanjutkan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Sinjai. Pada masa ini  mulai mencuat pembicaraan PAD, karena disamping kucuran dana yang bersumber dari pusat, juga sudah mulai memikirkan pengembalian dana pinjaman yang telah meluncur dan dimanfaatkan dalam membangun sarana kebutuhan pelayanan masyarakat.
               H. A. Arifuddin Mattotorang SH. Selama masa jabatannya berusaha terus untuk
       meningkatkan PAD. Atas upaya itu maka beliau berhasil meninggalkan rumah jabatan
      dan Kantor Bupati, Gedung  DPRD yang baru, demikian pula pasar sentral yang baru
      setelah yang lama terbakar, pembukaan dermaga penumpang kampung ujung Lappa,
      Rumah Sakit Umum,  beberapa sarana pendidikan dan jalan diadakan dengan dasar
      pemerataan.
               Menjelang akhir masa jabatan, beliau mencoba menjaring pendapat dan usul
      masyarakat tentang pembangunan melalui organisasi yang ada sehingga pada saat itu
      Muhammadiyah Sinjai berpeluang mengusulkan pengadaan Traffic Liht di poros jalan ibu
      kota dan pengadaan hutan kota sebagai paru-paru kota.

6.      H. Moh. Roem SH. Msi. 1993 -  2003
           Kepergian H. A. Arifuddin Mattotorang SH. telah menghabiskan masa jabatannya selama dua periode dan digantikan oleh  H. Moh. Roem SH. Beliau sebelumnya adalah dosen pada Fakultas Hukum UNHAS Makassar yang kemudian dipromosikan untuk dicalonkan menjadi Bupati, Juga beliau aktip sebagai anggota DPRRI Fraksi Golkar melalui jalur AMPI.
                  Kehadiran H. Moh. Roem SH. sebagai putera daerah yang keempat menakhodai Sinjai, disamping melanjutkan
       kebijaksanaan H. A. Arifuddin Mattotorang SH dalam mendistribusikan dana
       pembangunan secara merata, juga berusaha menggarap proyek-proyek baru dengan
       menggunakan PAD dan bantuan Propinsi dan Pusat.
                  H. Moh. Roem SH. melihat bahwa pembangunan yang dilaksanakan secara merata
       selama ini cukup memadai sehingga proyeksi pembangunan di arahkan kepada
       pembangunan ibu kota kabupaten Sinjai untuk menampakkan wajah kota Sinjai.
       Disamping itu, juga melirik obyek-obyek yang dapat meningkatkan pendapatan daerah.
       Dengan demikian maka bekas pasar sentral yang habis dilalap jago merah dibangun
       kembali dan dijadikan pusat pertokoan, terminal bus direalokasikan ke Bongki berdekatan
      dengan PDAM dengan harapan akan memuat mobil angkutan lebih banyak. Juga
      menggarap pelabuhan Larea-Rea yang diharapkan menjadi pelabuhan antar pulau yang
      dapat disinggahi kapal PELNI  Juga mencoba mengadakan penggalian sungai tangka,
      tetapi hasilnya tidak sesuai dengan harapan
                  Kalau pelabuhan Larea-Rea Sinjai telah selesai dan berfungsi, maka diprediksi
     pelabuhan Sinjai akan menjadi pelabuhan transito, baik yang memuat penumpang maupun
     yang akan memuat barang.
                  Beliau juga menangani pengembangan markisa yang diharapkan akan menjajdi
      produksi primadona dikemudian hari sebagai hasil produksi agro industri.
                  Apa yang telah dilakukan oleh Pemda Sinjai yang dipimpin oleh H. Moh. Roem
      SH rupanya menyesuaikan dengan arah pembangunan yang mengacu pada GBHN dan
       perkembangan masyarakat sehingga pada tahun 1997 melahirkan suatu Motto. “ SINJAI
      BERSATU yang merupakan kependekan kata dari ( Bersih, Elok, Rapi, Sehat, Aman,
      Tangguh ).

7.      A. Rudiyanto Asapa SH. LLM. 2003 –
            A. Rudiyanto Asapa SH. sebagai putera daerah Sinjai yang kelima terpilih menjadi Bupati yang ketujuh menggantikan H. Moh. Roem SH. melalui pemilihan di DPRD Sinjai. Sebelum hadir menjadi Bupati Sinjai yang ketujuh, beliau berprofesi sebagai pengacara yang cukup dikenal karena reputasinya pada bidang profesi yang digeluti.
                    Rupanya A. Rudiyanto Asapa SH. menjadi Bupati Sinjai, tidak semudah jalan
       yang  dilalui oleh pendahulunya, sebab A. Rudiyanto Asapa SH. melalui jalan yang
       berliku dan arus berhadapan dengan beberapa pasangan calon Bupati sebagai pesaingnya.
                    Aturan  pemilihan yang dilalui oleh A. Rudiyanto Asapa SH merupakan aturan
       yang baru  diberlakukan sejak Indonesia merdeka, yaitu harus dicalonkan oleh partai dan
      memaparkan visi  misinya dihadapan  publik, dan dihadapan anggota legilatif.  Sesudah itu
       dilalui barulah diperkenankan  memasuki arena pemilihan di DPRD melalui dua tahapan
       pemilihan. Tahap pertama merupakan tahap penyisihan untuk memperoleh dua kandidat
       calon dari tiga calon pasangan, yaitu :
1.      FPP  mencalonkan Prof. Dr. Najib Bustan berpasangan dengan Ir. Ahmad Negarawan Said
2.      Fraksi Golkar mencalonkan H. A. Razak Alty BA berpasangan dengan Sabirin Yahya S. Sos.
3.      Fraksi Reformasi mencalonkan A. Rudiyanto Asapa SH. berpasangan dengan Syamsu Mus S. Sos.
Adapun yang berhasil lolos di babak penyisihan ialah Pasangan Prof. Dr. Najib Bustan  memperoleh suara sebanyak 3, pasangan H. A. Razak Alty BA memperoleh suara sebanyak 14, dan pasangan A. Rudianto Asapa SH mendapat suara sebanyak 14.
         Pada  tahap kedua  pemilihan diadakan untuk memilih calon terpilih Bupati
       sebagai penentu siapa yang bakal  menjadi pemenang untuk menduduki jabatan Bupati,
       ternyata pasangan A. Rudianto Asapa SH dengan Drs. Syamsu Mus  memperoleh suara 17
       dan pasangan H. A. Razak Alty BA dengan Sabirin Yahya S. Sos. Memperoleh suara
       sebanyak 13. Dengan demikian maka pasangan A. Rudiyanto Asapa SH yang berhasil
       menjadi pemenang untuk menduduki jabatan Bupati Sinjai untuk periode 2003 - 2008.
                 Pelaksanaan pemilihan kali ini merupakan suatu peristiwa bersejarah selama
       Indonesia merdeka dan selama Sinjai menjadi kabupaten karena pelaksanaan pemilihan
       disaksikan  oleh masyarakat Sinjai lewat TV Monitor yang ditempatkan agak jauh dari
       situs  pelaksanaan pemilihan dengan pengawasan yang ketat dan bersahabat dari pihak
       pengamanan.
                 Apa yang telah dilakukan oleh A. Rudiyanto Asapa SH., rupanya disini belum dapat
       dikemukakan karena beliau masih dalam kondisi menjalani masa jabatan. Tapi yang pasti
       beliau akan berbuat lebih baik dari apa yang telah dilakukan pendahulunya, apakah
       sipatnya memelihara, menambah atau sekalian membuat trobosan baru dalam upaya
       meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sinjai. Apalagi beliau pada masa pra pemilihan
       telah mengemukakan visi dan misinya untuk membangun dan mengembangkan Sinjai
       kedepan.  
                  Sebagai generasi pelanjut pembangunan Sinjai yang kedepan, beliau telah
       menetapkan tiga pilar pembangunan Sinjai, yaitu pembangunan dalam bidang pendidikan,
       Agama, dan Kesehatan sebagai acuan langkah untuk mewujudkan visi dan misinya.

          
                                                               VII.  PENUTUP
                  Berdasarkan catatan di atas yang diambil dari berbagai sumber dan pengamatan penulis dari periode ke periode rasanya masih terlalu banyak hal yang perlu dikemukakan, tetapi  sebagai langkah awal  penelusuran Sinjai dari masa ke masa secara global,  tentu masih  tetap diharapkan adanya upaya dari pihak tertentu untuk melanjutkan  sehingga tapak- tapak Sinjai masa lalu, kini, dan yang akan datang dapat melengkapi catatan tersebut.
                   Namun demikian, pada bagian ini akan mengemukakan kesimpulan, bahwa :
-          Nilai dan semangat kebersamaan, kejujuran dan konsekwen di dalam menjalankan
       amanah perlu ditumbuh kembangkan untuk menata Sinjai kearah yang lebih maju dan
      dinamis.  

-          Nilai sejarah masa lalu dapat merupakan acuan di dalam mempertahankan ciri dan jati
      diri  sebagai masyarakat Sinjai yang dikenal ramah, sosial, dan religius.

-          Perlu menumbuhkan kebiasaan menghargai dan menghormati jeri payah dan hasil
      perjuangan para pendahulu kita.

-    Pemberdayaan masyarakat Sinjai perlu digalakkan sebagai upaya penumbuhan
      inovasi dan kreatifitas untuk menggali potensi yang dapat dikembangkan dalam
      meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.
           Penulis menyadari bahwa catatan ini masih terlalu banyak kekurangannya sehingga
 diharapkan kepada pembaca yang mempunyai catatan autentik  kiranya dapat memberikan masukan guna penyempurnaannya, begitu pula catatan bupati dari periode ke periode dapat dikembangkan terus sesuai dengan perkembangan sehingga nantinya dapat menjadi catatan yang bersambung terus-menerus. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
      
                                                                                                      Sinjai, 14 Februari 2006



    
SUMBER BAHAN PENULISAN

1.      Catatan Perjuangan Pemuda dan rakyat Sinjai menghadapi Kolonialisme. Tim
      Penyusun Sejarah Perjuangan Rakyat Sinjai    
2.      Catatan dan penuturan M. Syurkati Said ketika masih dalam kondisi prima
3.      Data Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Sinjai.
4.      Dokumen bahan-bahan seminar penelusuran hari jadi  Sinjai 2-3 September 1994.
5.      Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo, Tondong Dan Lamatti, H. Basrah Gising, Era Media, Makassar, Cet.I, November 2002.                                                                   
6.      Wawancara dengan H. M. Sattar, salah seorang pelaku sejarah perjuangan rakyat Sinjai.